SEKITAR “KONTEMPORER”
Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri dan perlu diakui ialah, bahwa kemunculan istilah
(terminology) “kontemporer” di Indo-nesia tidak terlepas dari “ulah” kaum akademis anak negeri
ini. Istilah yang bukan merupakan produk budaya masyarakat di Indonesia itu mereka adopsi
berdasarkan pemahaman yang beragam.
Ternyata istilah “kontemporer” adalah istilah yang mem-punyai arti terlalu luas. Dalam
diskusi sekitar masalah-masalah kebudayaan di Taman Ismail Marzuki sebagai acara Pesta Seni
Jakarta pada [tanggal] 13 Desember 1970 yang lalu, oleh para peserta secara diam-diam rupanya
telah disetujui pilihan yang diajukan oleh Dr. Fuad Hasan, yaitu bahwa seni kontemporer adalah
seni yang menggambarkan “Zeitgeist” atau jiwa waktu masa kini (...). [Sedyawati sendiri
berpandangan, bahwa] yang lebih mendekati maksud yang dituju, yaitu: seni kontemporer adalah
seni yang menunjukkan daya cipta yang hidup, atau menurut istilah Dr. Umar Kayam: yang
menunjukkan kondisi kreatif dari masa terakhir (Sedyawati, 1981:122).
Polemik dengan penilaian yang lebih menukik lagi tentang istilah kontemporer dan
penerapannya dalam dunia musik “Indo-nesia” pada akhir-akhir ini (1994), tergambar dari
pemikiran (konsepsi) yang dilancarkan atas pandangan Franki Raden dalam artikelnya berjudul
“Dinamika Pertemuan Dua Tradisi: Musik Kontemporer Indonesia, di Abad XX”. Tulisan ini
disigi Slamet Abdul Sjukur melalui esainya, “Mak Comblang dan Pionir Asongan: Musik
Kontemporer itu Apa?. Selanjutnya, Dieter Mack meng-”klarifikasi”-lagi tulisan tersebut melalui
artikel berjudul, “Sejarah, Tradisi, dan Penilaian Musik: Mempertimbangkan “Musik
Kontemporer” dari Kacamata Budaya Barat”. Kemudian, Yapi Tambayong menyorot pula artikel
Franki itu melalui dialog antara “Pradangga” dan “Waditra” melalui tulisan berjudul, “Niat
Kembali Sonder Pergi: Pelbagai Pergulatan Musik (di) Indonesia”. Bentuk dialog ini mirip
dengan dialog Socrates bersama Glaucon, Adeimantus, Polemarchus, Cephalus, Thrasymachus,
dan Cleitophon di Piraeus dalam The Republic (Buchanan, 1977:5) membicarakan beberapa hal
secara mendasar dan kritis. Namun yang jelas, bahwa pemahaman istilah contemporary (1631)
sebagaimana dalam Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary yang berarti kejadian,
keberadaan, kehidupan, yang ditandai oleh karakteristik periode sekarang (Mish, 1985:283)
tersebut, tidak serta merta saja bisa diterapkan dalam membingkai suatu pembicaraan (disiplin).
Dalam kaitan itu pula tampaknya Mack dalam pengantar bukunya Musik Kontemporer dan
Persoalan Interkultural mendasari pembicaraan antara lain dengan berpandangan, bahwa sejak
tahun 1991 terasa diskusi berputar-putar terus tanpa ada penyelesaian yang memadai, sebab
diterapkannya salah satu istilah dari lain budaya, tetapi arti pada budaya asal tersebut tidak
disinggung, tidak diterapkan, bahkan barangkali kurang diketahui. (Mach, 2001:1). Namun dalam
kaitan itu Mack mengakui pula, bahwa di Barat sendiri pun sering terjadi perbedaan persepsi
antara jenis-jenis seni kontemporer (Ibid., p. 7).
Meskipun demikian Mack mengemukakan, bahwa yang dimaksud dengan musik
kontemporer di Barat adalah per-kembangan karya seni otonom, yang dalam hal ini adalah musik
seni (art music) Barat sejak awal abad XX, khususnya di Eropa dan Amerika, sebagai suatu sikap
menggarap di ujung perkembang-an seni yang digeluti, yang merupakan reaksi atas dipandangnya
musik seni sebelumnya tidak lagi sesuai dengan tuntutan zaman.(Ibid., p. 2, 35,36).
Apabila padangan tersebut merupakan pembenaran atas pengertian “musik kontemporer”
dalam kebudayaan Barat, maka harus pulalah diterima kenyataan bahwa pada ujung
perkembangan atau awal pertumbuhan fase-fase (zaman) yang disebut dengan Barok, Klasik, dan
Romantik, sebagai model-model musik kontem-porer yang mewakili zamannya. Terjadinya
zaman-zaman seni secara linear dalam rentang kurun waktu masing-masing, merupakan reaksi atas seni yang ada sebelumnya, sehingga ia merupakan gaya musik yang baru dari pada gaya seni
yang ada sebelumnya. Dari persepsi ini patut dihormati pandangan Sjukur yang mengatakan,
bahwa memang tiap musik itu “kontemporer” pada zamannya, maka tidak mengherankan kalau
Bach ditinggalkan jemaah gereja St. Thomas, karena musiknya dikecam sebagai terlalu norak
buat waktu itu (Sjukur, 1994:15).
Penulis sependapat dengan cara berpikir seperti demikian dan oleh karenanya kajian dalam
dimensi diakronis atau sejarah (history) seperti yang dimaksud Gilbert J. Carraghan, sj., yaitu
kaji-an mengenai peristiwa-peristiwa manusia masa lampau atau kenyataan-kenyataan karya
manusia masa lalu (Garraghan dan Delanglez, 1957:3) akan dapat memberikan periodisasi
tentang perjalanan peradaban manusia. Sebutan Barok, Klasik, atau Roman-tik dalam perjalanan
kebudayaan Eropa atau zaman Batu Tua, Batu Muda, Perunggu, Besi, dan seterusnya, dalam
sejarah kebudayan Indonesia, tidaklah bernama pada saat pertama kali kejadian itu berlangsung.
Ia diberi nama oleh “sejarawan” setelah kejadian dengan segala kemapanan yang menciri
padanya berlangsung dalam kurun waktu tertentu.
Oleh karena itu, amat tepatlah pemakaian istilah kontemporer hanya melekat pada
pengertian, yaitu terjadinya suatu tindakan yang dipandang tidak seperti sebelumnya. Pada
tindakan ini ada sesuatu yang berubah sebagai manifestasi dari adanya tuntutan akan per-ubahan
dari yang dipadang mapan sebelumnya. Pada waktu per-ubahan itu terjadi, maka peristiwa
tersebut merupakan sesuatu yang kontemporer (“mengkini”). Dalam hal ini, padangan tidak
diberi arah pada apa atau ontologi dari aspek yang berubah; ontologi dari objek yang berubah
tidak serta merta melekat padanya sebutan istilah kontemporer. Memang ontologi (apa) dari yang
berubah merupakan produk dari suatu tindakan mengubah, tetapi setelah produk terbentuk
sebagai suatu entitas, maka padanya tidak melekat lagi perubahan. Ia telah menetap sebagai
sesuatu, bisa produk itu berupa karya seni, dan sebagainya. Sebagai contoh, sebuah karya musik
yang diciptakan dengan segala kebaruan dalam kaitannya dengan fenomena kontemporer, tidak
akan berubah lagi se-bagaimana misalnya terlihat pada rekaman audio visualnya tatkala pertama
kali karya tersebut dipertunjukkan. Sementara itu, perubahan sebagai suatu fenomena, bisa terjadi
kapan saja setelah karya tersebut menjadi, seiring dengan perjalanan waktu secara linear; karya
tinggal, waktu berjalan.
Cara pandang begini didasari oleh pemikiran konsistensi pemakaian arti berubah dengan
dampak kebaruan dari yang sebelum berubah, yang niscaya padanya mencerminkan jiwa atau
pemikiran masa itu. Oleh karenanya, kalau pengertian kontemporer dilekatkan pada materi atau
ontologi yang berubah, maka logikanya akan tumbuh secara linear periodisasi kontemporer-
kontemporer, bisa I, II, III, dst. Demikian pula apabila objeknya adalah “musik”, akan ada
seharusnya musik kontemporer I, II, III, dan seterusnya.
Dalam tulisan ini, kontemporer diartikan seperti demikian, yaitu terjadinya peristiwa
perubahan yang mencerminkan jiwa waktu masa kini atas bentuk-bentuk yang dipadang mapan
sebelumnya. Dalam konteks ini, ontologi dari sesuatu yang berubah dimaksud adalah apa yang
disebut musik oleh orang Indonesia pada umumnya dan secara khusus adalah musik kebudayaan
Minang-kabau.
Read More......