NKRI adalah sebuah negara yang meliputi ribuan pulau yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, dimana dari sekian banyaknya kepulauan beserta masyarakatnya tersebut lahir, tumbuh dan berkembang berbagai budaya daerah. Seni tradisional yang merupakan jati diri, identitas dan media ekspresi dari masyarakat pendukungnya.
Hampir seluruh wilayah NKRI mempunyai seni musik tradisional yang khusus dan khas. Dari keunikan tersebut bisa nampak terlihat dari teknik permainannya, penyajiannya maupun bentuk/organologi instrumen musiknya. Seni tradisonal itu sendiri mempunyai semangat kolektivitas yang tinggi, sehingga dapat dikenali karakter dan ciri khas masyarakat Indonesia, yaitu yang terkenal ramah dan santun.
Untuk lebih mengenal lebih dekat musik tradisional kita dapat dikategorikan menjadi beberapa kelompok yaitu :
1. Instrumen Musik Perkusi.
Perkusi adalah sebutan bagi semua instrumen musik yang teknik permainannya di pukul, baik menggunakan tangan maupun stik. Dalam hal ini beberapa instrumen musik yang tergolong dalam alat musik perkusi adalah Gamelan, Kendang, Kecapi, Arumba, Talempong, Sampek dan Kolintang, Rebana, Bedung, Jimbe dan lain sebagainya.
a. Gamelan adalah alat musik yang terbuat dari bahan logam, gamelan berasal dari daerah Jawa tengah, Yogyakarta, Jawa Timur juga di Jawa Barat disebut dengan Degung dan di Bali disebut Gamelan Bali. Satu perangkat gamelan terdiri dari instrumen saron, demung, gong, kenong, slentem, bonang, peking, gender dan beberapa instrumen lainnya. Disamping itu gamelan mempunyai nada pentatonis/pentatonic.
b. Kendang adalah sejenis alat musik perkusi yang membrannya berasal dari kulit hewan (kambing). Kendang atau gendang dapat dijumpai di banyak wilayah Indonesia. Di daerah Jawa Barat kendang mempunyai peranan penting dalam tarian Jaipong. Di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali kendang selalu digunakan dalam permainan gamelan baik untuk mengiringi tarian, wayang dan ketoprak. Tifa adalah alat musik sejenis kendang yang dapat di jumpai di daerah Papua, Maluku dan Nias. Rebana adalah jenis alat musik yang biasa di gunakan dalam kesenian yang bernafaskan Islam. rebana dapat dijumpai hampir di sebagian wilayah Indonesia.

Read More......
Jumat, 26 Februari 2010 Posted in | , | 0 Comments »

Djembe adalah satu di antara sekian banyak alat musik perkusi ritmik yang populer di masa kini. Dimainkan lintas-kalangan, anak-anak hingga dewasa. Bahkan, kini juga dikreasi sebagai kerajinan/souvenir dalam banyak ukuran dan motif, sebagian produknya berkualitas ekspor. Popularitas djembe di Indonesia mungkin setara dengan gitar, karena di banyak tempat mudah ditemukan. Satu yang unik dari djembe adalah pola-pola rhythm-nya yang konstan, tabuhannya yang bergemuruh, tajam, melengking dan gaduh seolah membangkitkan energi ritual-primitif.
Konon nama djembe diambil dari pohon djem, yang banyak ditemukan di Mali. Pohon djem adalah bahan dasar untuk membuat djembe. Setelah pohon ditebang, dibentuk suatu kerangka menyerupai piala, lantas dibubut, dan diukir sedemikian rupa. Menebang pohonnya pun dibarengi ritual khusus. Tentu dipilih kayu yang baik, yang tingkat ketahanannya lama, dan bisa menghasilkan akustik yang bagus. Membran sebagai sumber bunyinya bisa menggunakan kulit kambing, kerbau dan antelop. Teknik merenggangkannya pun khusus. Lalu, setelah melalui proses pengeringan, membran itu diikatkan tali di selingkar body-nya.
Menurut Doris Green (2001), djembe adalah hasil kreasi orang Konon di Sierra Leone. Cikal bakal djembe adalah sangba. Memang benar alat musik ini berasal dari Afrika, tapi siapa sangka ternyata persebarannya tidak menyeluruh di seluruh benua Afrika. Ada banyak nama untuk alat musik berjenis drum di Sierra Leone, di antaranya sangba, yimbei, jimberu, bata, atau tapoi. Masing-masing alat musik itu dimainkan oleh kelompok-kelompok orang yang berbeda pula.
Di daerah Mali misalnya, djembe dipergunakan pada malam hari untuk berbagai perayaan, misalnya menyambut bulan purnama, datangnya musim semi, musim panas, musim panen, musim dingin, malam puasa, perkawinan, baptis, dan lain sebagainya. Djembe juga dipergunakan mengiringi tarian maupun nyanyian. Rhythm yang dipakai menyesuaikan untuk momen apa djembe dimainkan. Beberapa nama-nama pola rhythm itu antara lain: djagbe, yangkadi-makru, marakadon, mendjani, moribayasa, kasa, garangedon. Selain di Mali, djembe juga ditemukan di Senegal, Guinee, Gambia, Ivory Coast, dan wilayah lain khususnya di Afrika Barat. Kasta Griot adalah kasta penjaga kebudayaan musik yang utama, selain kasta Pandai Besi (fetish maker).
Orang yang profesinya bermain djembe disebut Djembe Fola. Di beberapa negara seperti Amerika, Belgia, Jerman, Perancis, terdapat sekolah djembe, yang mendatangkan guru-guru langsung dari habitat asalnya. Bagaimana dengan Indonesia? Ternyata belum ada sekolah djembe. Hanya saja, aktifitas “djembe fola” telah menyebar di pelosok negeri.
Banyak kelompok musik menggunakan djembe sebagai media ekspresi musiknya. Menyebut beberapa: kelompok Djembe Merdeka (Yogya), nDjagong Percussion, KunoKini, Payon Percussion (Jakarta), Djendela Ide, Magic Skin (Bandung), Java Jine, Etno Ensamble (Solo). Mereka memainkan rhythm tradisional dan kreasi-kreasi baru yang di-mix secara eklektik, baik saat membawakan lagu-lagu tradisi Nusantara maupun komposisi kontemporer. Melihat instrumentasi dalam formasi tradisional kira-kira standarnya adalah: 3 djembe ditambah dunun yang terdiri dari kankeni (kecil), sangban (sedang), dan dunumba (besar). Kankeni menabuh pulsa pendek yang konstan, sangban menjadi jalinan melodi, dan dunumba untuk bermain pulsa-pulsa panjang. Sementara 3 djembe bermain rhythm 1 dan 2, sisanya sebagai solis.

Read More......
Jumat, 19 Februari 2010 Posted in | | 3 Comments »

SEKITAR “KONTEMPORER”

Suatu hal  yang  tidak bisa dipungkiri  dan perlu diakui   ialah,  bahwa kemunculan  istilah
(terminology) “kontemporer”  di Indo-nesia tidak terlepas dari “ulah” kaum akademis anak negeri
ini.   Istilah yang bukan merupakan produk budaya  masyarakat  di   Indonesia  itu mereka adopsi
berdasarkan pemahaman yang beragam.
Ternyata  istilah “kontemporer”   adalah  istilah yang mem-punyai  arti  terlalu  luas.  Dalam
diskusi sekitar masalah-masalah kebudayaan di Taman Ismail Marzuki sebagai acara Pesta Seni
Jakarta pada [tanggal] 13 Desember 1970 yang lalu, oleh para peserta secara diam-diam rupanya
telah disetujui pilihan yang diajukan oleh Dr. Fuad Hasan, yaitu bahwa seni kontemporer adalah
seni   yang  menggambarkan   “Zeitgeist”   atau   jiwa  waktu  masa   kini  (...).   [Sedyawati   sendiri
berpandangan, bahwa] yang lebih mendekati maksud yang dituju, yaitu: seni kontemporer adalah
seni  yang menunjukkan daya  cipta yang hidup,  atau menurut   istilah Dr.  Umar  Kayam:  yang
menunjukkan kondisi kreatif dari masa terakhir (Sedyawati, 1981:122).
Polemik   dengan   penilaian   yang   lebih  menukik   lagi   tentang   istilah   kontemporer   dan
penerapannya   dalam  dunia  musik   “Indo-nesia”   pada   akhir-akhir   ini   (1994),   tergambar   dari
pemikiran (konsepsi) yang dilancarkan atas pandangan Franki Raden dalam artikelnya berjudul
“Dinamika Pertemuan Dua Tradisi:  Musik Kontemporer   Indonesia,  di  Abad XX”.  Tulisan  ini
disigi   Slamet  Abdul   Sjukur  melalui   esainya,   “Mak  Comblang   dan   Pionir  Asongan:  Musik
Kontemporer itu Apa?.  Selanjutnya, Dieter Mack meng-”klarifikasi”-lagi tulisan tersebut melalui
artikel   berjudul,   “Sejarah,   Tradisi,   dan   Penilaian   Musik:   Mempertimbangkan   “Musik
Kontemporer” dari Kacamata Budaya Barat”. Kemudian, Yapi Tambayong menyorot pula artikel
Franki   itu  melalui  dialog   antara   “Pradangga”  dan   “Waditra”  melalui   tulisan   berjudul,   “Niat
Kembali  Sonder  Pergi:  Pelbagai  Pergulatan  Musik   (di)   Indonesia”.  Bentuk   dialog   ini  mirip
dengan dialog Socrates bersama Glaucon, Adeimantus, Polemarchus, Cephalus,   Thrasymachus,
dan Cleitophon di Piraeus dalam The Republic  (Buchanan, 1977:5) membicarakan beberapa hal
secara mendasar dan kritis. Namun yang jelas,  bahwa pemahaman istilah contemporary  (1631)
sebagaimana   dalam  Webster’s   Ninth     New   Collegiate   Dictionary  yang   berarti   kejadian,
keberadaan,   kehidupan,   yang   ditandai   oleh   karakteristik   periode   sekarang   (Mish,   1985:283)
tersebut, tidak serta merta saja bisa diterapkan dalam membingkai suatu pembicaraan (disiplin).
Dalam kaitan itu pula tampaknya Mack dalam pengantar bukunya Musik Kontemporer dan
Persoalan Interkultural mendasari pembicaraan antara lain dengan berpandangan,  bahwa sejak
tahun 1991  terasa  diskusi  berputar-putar   terus   tanpa   ada  penyelesaian yang  memadai,   sebab
diterapkannya   salah  satu  istilah dari   lain budaya,   tetapi   arti  pada  budaya   asal   tersebut   tidak
disinggung, tidak diterapkan, bahkan barangkali kurang diketahui. (Mach, 2001:1). Namun dalam
kaitan  itu Mack mengakui  pula,  bahwa di  Barat  sendiri  pun sering  terjadi  perbedaan persepsi
antara jenis-jenis seni kontemporer (Ibid., p. 7).
  Meskipun   demikian   Mack   mengemukakan,   bahwa   yang   dimaksud   dengan   musik
kontemporer di Barat adalah per-kembangan karya seni otonom, yang dalam hal ini adalah musik
seni (art music) Barat sejak awal abad XX, khususnya di Eropa dan Amerika, sebagai suatu sikap
menggarap di ujung perkembang-an seni yang digeluti, yang merupakan reaksi atas dipandangnya
musik seni sebelumnya tidak lagi sesuai dengan tuntutan zaman.(Ibid., p. 2, 35,36).
Apabila padangan tersebut  merupakan pembenaran atas pengertian “musik kontemporer”
dalam   kebudayaan   Barat,   maka   harus   pulalah   diterima   kenyataan   bahwa   pada   ujung
perkembangan atau awal pertumbuhan fase-fase (zaman) yang disebut dengan Barok, Klasik, dan
Romantik,   sebagai  model-model  musik   kontem-porer   yang  mewakili   zamannya.   Terjadinya
zaman-zaman seni  secara linear dalam rentang kurun waktu masing-masing,  merupakan reaksi atas seni yang ada sebelumnya, sehingga ia merupakan gaya musik yang baru dari pada gaya seni
yang ada sebelumnya.  Dari  persepsi   ini  patut  dihormati  pandangan Sjukur    yang mengatakan,
bahwa memang tiap musik itu “kontemporer” pada zamannya,  maka tidak mengherankan kalau
Bach ditinggalkan  jemaah gereja St.  Thomas,  karena musiknya  dikecam sebagai   terlalu norak
buat waktu itu (Sjukur, 1994:15).
Penulis sependapat dengan cara berpikir seperti demikian dan oleh karenanya kajian dalam
dimensi  diakronis atau sejarah (history) seperti  yang dimaksud Gilbert  J.  Carraghan,  sj.,  yaitu
kaji-an  mengenai   peristiwa-peristiwa  manusia  masa   lampau   atau   kenyataan-kenyataan   karya
manusia  masa   lalu   (Garraghan   dan  Delanglez,   1957:3)   akan   dapat  memberikan   periodisasi
tentang perjalanan peradaban manusia. Sebutan Barok, Klasik, atau Roman-tik dalam perjalanan
kebudayaan Eropa atau zaman Batu Tua,  Batu Muda,  Perunggu,  Besi,  dan seterusnya,  dalam
sejarah kebudayan Indonesia, tidaklah bernama pada saat pertama kali kejadian itu berlangsung.
Ia   diberi   nama   oleh   “sejarawan”   setelah   kejadian   dengan   segala   kemapanan   yang  menciri
padanya berlangsung dalam kurun waktu tertentu.
Oleh   karena   itu,   amat   tepatlah   pemakaian   istilah   kontemporer   hanya   melekat   pada
pengertian,   yaitu   terjadinya   suatu   tindakan   yang   dipandang   tidak   seperti   sebelumnya.   Pada
tindakan ini ada sesuatu yang berubah sebagai manifestasi dari adanya tuntutan akan per-ubahan
dari   yang   dipadang  mapan   sebelumnya.  Pada  waktu   per-ubahan   itu   terjadi,  maka   peristiwa
tersebut  merupakan   sesuatu   yang  kontemporer   (“mengkini”).  Dalam hal   ini,  padangan   tidak
diberi arah pada apa atau ontologi dari aspek yang berubah; ontologi dari objek yang berubah
tidak serta merta melekat padanya sebutan istilah kontemporer. Memang ontologi (apa) dari yang
berubah  merupakan   produk   dari   suatu   tindakan  mengubah,   tetapi   setelah   produk   terbentuk
sebagai   suatu entitas,  maka  padanya   tidak melekat   lagi  perubahan.   Ia   telah menetap  sebagai
sesuatu, bisa produk itu berupa karya seni, dan sebagainya.  Sebagai contoh, sebuah karya musik
yang diciptakan dengan segala kebaruan dalam kaitannya dengan fenomena kontemporer, tidak
akan berubah lagi se-bagaimana misalnya terlihat pada rekaman audio visualnya tatkala pertama
kali karya tersebut dipertunjukkan. Sementara itu, perubahan sebagai suatu fenomena, bisa terjadi
kapan saja setelah karya tersebut menjadi, seiring dengan perjalanan waktu secara linear; karya
tinggal, waktu berjalan. 
Cara pandang begini didasari  oleh pemikiran konsistensi pemakaian arti berubah dengan
dampak kebaruan dari  yang sebelum berubah,  yang niscaya padanya mencerminkan  jiwa atau
pemikiran masa itu. Oleh karenanya, kalau pengertian kontemporer dilekatkan pada materi atau
ontologi  yang  berubah,  maka   logikanya   akan  tumbuh   secara   linear  periodisasi  kontemporer-
kontemporer,  bisa   I,   II,   III,  dst.  Demikian  pula   apabila  objeknya   adalah  “musik”,   akan  ada
seharusnya musik kontemporer I, II, III, dan seterusnya.
Dalam  tulisan   ini,   kontemporer   diartikan   seperti   demikian,   yaitu   terjadinya   peristiwa
perubahan yang mencerminkan jiwa waktu masa kini atas bentuk-bentuk yang dipadang mapan
sebelumnya.  Dalam konteks ini, ontologi dari sesuatu yang berubah dimaksud adalah apa yang
disebut musik oleh orang Indonesia pada umumnya dan secara khusus adalah musik kebudayaan
Minang-kabau.

Read More......
Posted in | , | 0 Comments »

Pada akhir periode 1790 sampai 1860, piano era Mozart mengalami perubahan yang hebat, dimana instrumen modern semakin terlihat memimpin. Pada revolusinya, piano banyak mendapat dukungan dari komposer dan pianis-pianis terkenal yang mengiringi perkembangannya. Sehingga piano dalam musik semakin memiliki power yang tinggi. Teknologi dalam pembuatan piano pun semakin menggunakan alat-alat berteknologi tinggi.
Dalam beberapa waktu, gaya suara piano meningkat. Dari 5 oktav menjadi 7 1/3 (atau bahkan lebih) oktav, ini menandakan piano semakin modern. Kemajuan teknologi ini banyak bersumber dari perusahaan di Inggris, Broadwood. Selama bertahun-tahun, instrumen buatan Broadwood mengalami perkembangan menjadi lebih banyak jenisnya, lebih baik suaranya, juga dikemas secara baik dan rapi.
Perusahaan Broadwood mengirim piano mereka kepada Hadyn dan Beethoven. Cakupan kemampuan piano yang mereka kirim itu lebih dari lima oktaf. pada tahun 1790an, tahun 1810 menyusul menjadi enam oktav, sampai pada tahun 1820 akhirnya menjadi tujuh oktav. Sampai-sampai banyak perusahaan pembuat piano mengikuti trend ini.
Bercerita tentang piano sama halnya seperti menceritakan seorang superstar. Seperti layaknya seorang superstar, piano yang terkenal itu juga banyak dikagumi berbagai kalangan. Piano bisa masuk dalam industri musik dan perfilman, yang dengan mudahnya dilihat dan didengar siapa saja.
Sejak tahun 1830-an, konser piano selalu di idolakan banyak penggemar musik. Setiap para pianis terkenal menggelar konsernya, kerap kali dipadati oleh para penggemar. Mereka selalu berbondong-bondong mengantri tiket konser piano seperti semut. Karena bagaimanapun juga, piano bisa masuk ke hampir seluruh musik terkenal.
Contoh pada ke-27 konser piano yang digelar Mozart. Konser ini benar-benar merupakan konser musik instrumental yang tanpa bantuan iringan penyanyi ternyata tetap dapat lebih dinikmati. Inilah kehebatan yang dimiliki alat musik piano. Permainan pada konser piano bisa terlaksana dengan baik secara solo (sendirian), duo (berdua), trio (bertiga), maupun kuartet (berempat). Hal ini telah dibuktikan sejak lama oleh para pianis terkenal seperti Mozart, Hadyn, Beethoven, Schubert, Schumann, Mendelssohn dan Brahms.
Salah satu peran piano dalam industri perfilman adalah sebagai alat musik yang mengiringi jalannya film tersebut. Dapatkah loe membayangkan jika film yang loe tonton tidak didukung oleh latar belakang musik? Piano sangat lekat dengan alur-alur cerita dalam film. Jika pada film itu ceritanya sedih, diputarkanlah alunan musik piano yang lagunya sedih atau melow, sedangkan jika film itu seru (misalnya film aksi), maka diputarkanlah musik yang membuat adrenalin naik. Kesemua ini senantiasa diperankan oleh piano

Read More......
Rabu, 17 Februari 2010 Posted in | , | 0 Comments »

Musik era abad ke 20 dimulai pada tahun 1900 hingga tahun 2000. Sedangkan music kontemporer dimulai pada tahun 1975 hingga sekarang. Dari tahun 1975 hingga 2000 adalah masa dimana music era abad 20 dan kontemporer berjalan berdampingan. Musik abad 20 diawali oleh Claude Debussy yang mengusung gaya impresionis. Para composer benua America memulai karirnya dibidang music dan berjaya seperti Charles Ives, John Alden Carpenter, dan George Gershwin. Masih ada juga Arnold Schoenberg yang lulusan akademi Vienna yang mengembangkan teknik 12 nada. Alat music yang digunakan pada era ini terus digunakan hingga sekarang.

Banyak sekali jenis music yang berkembang pada abad 20. Contohnya adalah aliran ekspresionisme dari Schoenberg, neoclassical dari Igor Stravinsky, aliran futurism dari Luigi Russolo, Alexander Mossolov, Prokoliev, Antheil. Selain musik-musik tersebut, masih ada aliran microtonal dari Julian Carillo, Alois Haba, Harry Partch, dan Ben Johnston. Lalu masih ada aliran sosialis dari Prokofiev, Gliere, Kabalevsky, dan composer dari Russia lainnya. Selanjutnya, Steve Reich dan Philip Glass mengusung music dengan harmony yang simple dan ritme minimalis. Musik bersifat konkrit dari Pierre Schaeffer dan music intitusif seperti Karlheinz Stochausen. Terakhir, ada music serialisme dari Pierre Boulez, music politik dari Luigi Nono, dan music aleatoric dari john Cage.

Di sisi lain, music kontemporer mengagungkan kesederhanaan. Tokoh terkenal dari aliran kesederhanaan ini adalah Wolfgang Rihm. Karya-karya dari Rihm sangat dihargai di Jerman. Karya-karya dari composer lain yang cukup dihargai adalah symphony no. 3 yang berjudul Symphony of Sorrowful songs dari Gorecki dan juga Cantus in memoriam Benjamin Britten dari Part. Selain itu, masih ada karya berjudul The Veil of the Temple dari Tavener dan juga Silent Songs dari Valentin Silvestrov.

Musik kontemporer bisa berasal dari segala tempat dan mempengaruhi gaya music lain. Contohnya adalah gamelan dari Indonesia, instrument tradisional dari Cina, dan juga ragas dari music klasik India. Jenis music seperti rock, jazz, dan juga pop sangatlah berkembang pesat. Hal ini mencatatkan banyak pencipta music yang berkualitas.

Pada era music kontemporer, banyak sekali festival music yang diselenggarakan untuk menghargai music. Sebut saja Ars Musica di Belgia, Bang on a Can marathon, Cabrillo Festival of Contemporary Music, Darmstadter Ferienkurse, dan Donaueschingen Festival. Selain itu, masih ada Gaudeamus Foundation music week di Amsterdam, Huddersfield Contemporary Music Festival, Peninsula Arts Contemporary Music Festival, dan Warsaw Autumn di Polandia. Masih banyak lagi festival film yang skalanya lebih kecil yang tidak bisa disebutkan. Perkembangan music kontemporer sangatlah pesat dan masih tidak ada tanda-tanda akan berakhir.

Read More......
Senin, 15 Februari 2010 Posted in | , | 0 Comments »

Christiana Daneva meraih gelar sarjana berpendidikan tinggi di bidang Bisnis Administrasi, Relasi Internasional dan studi Eropa. Ia tekun dalam menari, menggambar, memperbaiki barang-barang kuno dan berski, tetapi yang paling menginspirasi dan menyenangkannya adalah bunyi dari alat musik yang paling disukainya–Djembe Afrika.

Djembe memiliki sejarah yang panjang dan asal mula yang luar biasa. Menurut legenda kuno, alat musik Djembe pertama kali dibuat dari kulit tokoh dongeng “gebraffe”, yang merupakan gabungan dari seekor jerapah dan seekor zebra.

Read More......
Minggu, 14 Februari 2010 Posted in | | 1 Comments »